Monday, April 9, 2012

Kasus Bisnis Internasional

kasus BI





KASUS 1

(Budaya Bisnis Internasional) - Enron, IndiaKasus Enron Internasional di India Enron sebuah perusahaan dibidang energi yang berasal dari USA pada 1990 mencoba untuk menggarap pasar india yaitu dengan membangun instalasi energi yang diperlukan oleh industri di India. Namun dalam pelaksanaanya, Enron mengalami beberapa hambatan sebelum tujuanya untuk dapat menjadi penyedia energi tunggal di India dapat tercapai. Hambatan itu berupa halangan dan sulitnya negosiasi yang dilakukan Enron terhadap pemerintahan lokal Maharashtra yaitu daerah yang akan menjadi lokasi pembangunan proyek energi yang didanai oleh Enron. Hal ini disebakan oleh adanya pergantian kekuasaan dimana partai penguasa yang baru di Maharashtra koalisi BJP dan Shiv Sena. BJP dan Shiv Sena mengangkat isu korupsi dan ajaran swadesi dari Gandhi dalam kampanye sebelum kemenanganya. Sehingga setelah BJP berkuasa di Mahrashtra proyek Enron tertunda beberapa lama, BJP menuduh pemerintahan sebelumnya telah melakukan korupsi dan kolusi dengan Enron untuk menggoalkan pembangunan proyek Enron. Walaupun tuduhan itu tidak terbukti, tapi sempat memunculkan ketegangan antara pihak Enron dan pemerintah lokal Maharashtra. Enron terus mengadakan perundingan baik melalui konsolidasi dengan pemerintah lokal Maharashtra, maupun dengan upaya penekanan Bill Clinton terhadap pemerintah India supaya proyek Enron dapat diteruskan. Mengapa Enron begitu bersemangat untuk menjalankan proyek energi tersebut walau banyak menghadapi resiko dan tantangan dari pemerintah lokal Maharashtra? Hal ini disebabkan Enron mempunyai tujuan jangka panjang yaitu sebagai penguasa tunggal penyedia proyek energi di India, selain itu enron juga bermaksud untuk memasok produk LNGnya di Qatar agar diserap untuk bahan bakar energi di India. Oleh karena itu Enron memilih lokasi pembangunan proyek energi yang dekat dengan Gulf States, Qatar, agar biaya pengiriman LNG ke proyek di India lebih murah. Hambatan negoisasi dan terhambatnya pembangunan proyek enron di India disebabkan oleh adanya perubahan penguasa politik di Maharashtra, aturan dan sistem birokratik yang berbelit di India, dan ketidak samaan pola kebijakan antara pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam menanggani investror. Hal tersebut menjadi pelajaran berharga bahwa dalam menjalankan bisnis Internasional dalam hal ini berinvestasi di negara lain, perlu memperhatikan sistem pemerintahan dan politik di negara yang dituju, juga dengan aturan birokratik yang berliku di negara yang dituju.

Analisis Tentang Kasus Enron (Bagaimana Enron menyikapi perubahan politik di India untuk membangun industry Energi terbesar di India? )

Disney in France

Disney sebagai perusahaan yang mengembangkan konsep taman hiburan dalam bisnisnya telah berhasil meraih keuntungan di Amerika Serikat dan Jepang. Langkah selanjutnya yang dilakukan Disney adalah mencoba memasuki pasar Eropa, dalam hal ini Paris sebagai target utamanya. Mengapa Paris yang dijadikan kota yang akan dibangun taman hiburan berikutnya? Mengapa tidak memilih kota yang lain?

Disney berargumen bahwa Paris dipilih karena beberapa alasan, pertama sekitar 17 juta orang eropa tinggal kurang dari dua jam perjalanan menuju Paris, dan sekitar 310 juta dapat terbang ke Paris pada waktu yang sama. Kedua, besarnya perhatian pemerintah kota paris yang menawarkan lebih dari satu milyar dollar dalam berbagai insentif, dan ekspektasi bahwa proyek ini akan menciptakan 30000 lapangan pekerjaan.

Namun apa yang terjadi? Dalam pelaksanaanya Disney mengahadapi beberapa masalah antara lain berupa boikot acara pembukaan oleh menteri kebudayaan Perancis, dan kegagalan Disney untuk memperoleh target pengunjung yang datang dan pendapatan yang diharapakan. Mengapa bisa? Hal ini disebabkan karena Disney kesalahan asumsi terhadap selera dan pilihan dari konsumen di Perancis. Ini disebabkan karena perbedaan budaya, Disney menganggap pola budaya perusahaan yang telah berhasil dijalankan di Amerika Serikat dan Jepang akan berhasil pula di Perancis, ternyata tidak. Sebagai contoh, pertama, kebijakan disney untuk tidak menyediakan minuman alkohol di taman hiburan, berakibat buruk karena di Paris sudah menjadi kebiasaan untuk makan siang dengan segelas wine. Kedua asumsi bahwa hari jumat akan lebih ramai dari hari minggu, ternyata berkebalikan. Ketiga, Disney tidak menyediakan sarapan pagi berupa bacon dan telur seperti yang dinginkan oleh konsumen, tapi malah menyediakan kopi dan Croissant.

Begitu juga dengan model kerja tim yang diterapkan, disney mencoba menerapakan model kerja tim yang serupa dilakukan di USA dan Jepang, yang tidak dapat diterima oleh karyawan Disney di Paris. Juga kesalahan perkiraan Disney bahwa orang Eropa akan menghabiskan waktu lam di taman mereka, ternyata keliru.

Kegagalan dan kesalahan pola budaya perusahaan yang dilakukan Disney di Paris, disebabkan oleh adanya kesalahan penafsiran budaya. Disney beranggapan bahwa apa yang diterapakan dan sukses di USA dan jepang akan sukses pula di Perancis. Disney seharusnya mengadakan riset dahulu tentang bagaimana budaya orang Perancis agar pola budaya perusahaan dapat disesuaikan dengan kultur setempat dan diterapkan di Perancis. Dan setelah Disney merubah strateginya yaitu dengan merubah nama perusahaannya menjadi Disney land Paris, merubah makanan dan pakaian yang ditawarkan sesuai pola budaya setempat, harga tiket dipotong sepertiganya, terbukti jumlah pengunjung Disney di Paris mengalami kenaikan.




KASUS 2 (Sosio-Ekonomi)

Kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area – yang dimulai awal tahun 2010 – merupakan sebuah kebijakan yang strategis. Dari kesepakatan tersebut bisa lahir kebijakan fiskal bersama, seperti yang dilakukan Uni Eropa setelah melalui beberapa proses integrasi ekonomi. Namun, tidak menutup kemungkinan kesatuan kebijakan tersebut akan mengarah kepada integrasi regional yang lebih menyeluruh, termasuk politik. David Mitrany menyebut proses tersebut dengan ramifikasi.[1] Uni Eropa memulainya dengan kerjasama batubara dan baja (European Coal and Steel Community). Kerjasama itu kemudian mengalami ramifikasi – atau istilah Ernst Haas spill over – sampai saat ini telah menciptakan mata uang bersama. Jika mengacu pada Mitrany, tentunya ACFTA akan berdampak positif bagi perekonomian maupun keamanan Asia Tenggara. Dalam bidang perekonomian, terjalinnya ACFTA akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Hingga 2005 ASEAN menjadi mitra kerjasama kelima terbesar bagi China. Nilai investasi ASEAN ke China sebesar 28 persen sejak tahun 1991 sampai 2001. Sedangkan investasi China ke ASEAN sebesar 7,7 persen dari seluruh investasi China ke luar negeri.[2] Nilai invenstasi China ke ASEAN yang relatif kecil sebenarnya seimbang dengan besarnya nilai investasi ASEAN ke China. China sendiri merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Hal tersebut merupakan potensi pasar yang sangat besar bagi negara-negara Asia Tenggara. Kerjasama ACFTA – selain memunculkan interdependensi – juga akan menjadikan China sebagai negara hegemon di kawasan. Hal itu bisa dilihat dari perekonomian yang terus melesat mengejar Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir. Bank Dunia memprediksi,[3] Cina akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar mengalahkan AS, 25 tahun yang akan datang.[4] Dan yang lebih mengagetkan, tujuh dari lima belas ekonomi dunia akan berasal dari kawasan Asia. Tentunya prediksi semacam ini akan menimbulkan dampak yang sangat positif bagi negara-negara Asia Tenggara. Absennya AS di kawasan Asia Tenggara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kedekatan China dengan negara-negara Asia Tenggara. Permasalahan keamanan yang pernah membuat hubungan China dan beberapa negara Asia Tenggara tegang di masa-masa Perang Dingin, kini telah mencair. Begitu juga dengan permasalahan sengketa wilayah di Laut China Selatan. Sengketa klaim kepemilikan kepulauan Paracel di Laut China Selatan antara China, Filipina dan juga Vietnam juga dapat diredam sangat baik, dengan dibentuknya kerjasama untuk mencari cadangan minyak bersama di wilayah itu.[5] Kesepakatan tersebut tentunya sangat positif, mengingat sengketa wilayah Laut China Selatan telah berlangsung secara terbuka pada tahun 1996. Pada tahun tersebut terjadi aksi tembak menembak antara angkatan laut China dan Filipina di dekat pulau Capones. Peristiwa tersebut terjadi beberapa kali sampai tahun 1999. Kerjasama-kerjasama tersebut nampaknya menjadi semakin bermakna, ketika memasuki abad 21, China giat mengembangkan kemampuan soft power-nya. Hard power – seperti ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi dan pertahanan – yang dimiliki oleh China tidak perlu diragukan lagi. Saat ini soft power China yang berbasis pada budaya, filosofi-filosofi tradisional, dan lain sebagainya,[6] semakin diminati oleh negara-negara di Asia Tenggara. Joseph Nye mengatakan, soft power adalah “kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui ketertarikan (attraction) daripada paksaan atau bayaran.[7] Salah satu perbedaan mendasar antara hard dan soft power terletak pada medianya. Jika soft power menggunakan budaya sebagai media untuk menarik negara – atau aktor – lain, hard power menggunakan ancaman, paksaan atau hukuman (sticks and carrots). Soft power itu ditandai dengan kesuksesan China meyakinkan negara-negara di Asia Tenggara terhadap kebijakan good neighbourly relations.[8] Selain itu, keaktivan China dalam upaya menjaga perdamaian dunia, melalui PBB, ASEAN Regional Forum atau Shanghai Cooperation Organization (SCO), juga memberi nilai tersendiri bagi China.

Analisis Kasus Kerja sama ACFTA-China menurut anda
(Dampak Positive/Negative nya)

KASUS 3
Standar Emas dan Dampaknya Terhadap Perekonomian. (Moneter)
Kasus Penetapan Standar Emas dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Dampak dari depresiasi rupiah terhadap Dollar ini amat dahsyat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpuruk. Kebijakan otoritas moneter yang menerapkan kebijakan uang ketat (tigh money policy) untuk membendung pelemahan rupiah dengan menaikkan suka bunga memaksa bunga pinjaman naik. Akibatnya proyek-proyek terhenti dan sejumlah perusahaan-perusahaan gulung tikar. Dampak selanjutnya adalah terjadinya PHK besar-besaran. Harga sembako dan juga barang-barang lainnya meningkat tajam sehingga membuat rakyat semakin menderita (Yusanto, 2001: 3). Peristiwa yang lebih mutakhir adalah krisis keuangan yang melanda Argentina. Mata uang Argentina, Peso didevaluasi hingga lebih dari 100% dari Dollar AS yang menjadi patokan. Salah satu alasan utama kebijakan devaluasi ini adalah keputusan untuk menghentikan pematokan (pegging) peso terhadap Dollar AS, yang oleh IMF dianggap tidak lagi dapat dipertahankan. Kegagalan strategi pemerintah dan kekacauan tersebut telah mempengaruhi situasi negara-negara AS lainnya (Fredericks, 2004: 149). Dalam kondisi moneter yang tidak stabil dan menimbulkan penderitaan tersebut ternyata pihak spekulan menghadapi keadaan sebaliknya. Menurut Stiglizt (199: 2003) pukulan berat yang mengakibatkan real estate dan pasar saham Thailand mengalami gelembung (bubble) diakibatkan oleh uang spekulatif panas yang mengalir ke negara tersebut. Dan memang pada faktanya perubahan arah modal spekulatif ini merupakan akar pergerakan eksesif pada nilai tukar. Menurut Stiglizt (2003: 199) salah satu sumber keuntungan para spekulan adalah uang yang berasal dari pemerintah yang didukung oleh IMF. Sebagai contoh ketika IMF dan pemerintah Brazil mengeluarkan sekitar 50 miliar Dollar untuk menjaga nilai tukar yang berada pada level overvalued pada akhir 1998, uang tersebut seakan hilang ditelan angin. Namun pada faktanya uang tersebut sebagian besar mengalir ke kantong-kantong para spekulan. Beberapa spekulan mungkin mengalami kerugian sementara yang lain untung namun secara umum para spekulanlah yang memperoleh seluruh uang yang diderita oleh pemerintah. Bahkan menurut Stiglizt (2003: 199) IMF-lah yang menjaga agar para spekulan tersebut tetap dapat berbisnis. Berdasarkan pemaparan di atas sangat wajar jika sejumlah kalangan mulai mempertanyakan faktor fundamental yang menjadi pemicu berbagai krisis tersebut. Mereka mulai mencari solusi alternatif yang dapat menstabilkan kondisi moneter dan keuangan baik yang bersifat domistik maupun yang bersifat internasional. Salah satu negara yang memberikan respon yang kuat dari instabilitas sektor moneter tersebut adalah Rusia. Pemerintah Rusia telah menyadari sifat spekulatif pasar uang dan ketidakstabilan yang diakibatkan oleh penetapan standar mata uang itu. Pada 10 Juli 2001 The Bank of Rusia yang merupakan Bank Sentral Rusia mengedarkan mata uang emas yang bernama Chervonet. Dengan demikian mata uang emas menjadi alat pembayaran yang sah. Diharapkan dalam jangka pendek orang-orang Rusia bersedia mengubah tabungan mereka dari mata uang Dollar menjadi mata uang Chervonet disamping Rubel yang saat ini beredar. Dalam jangka panjang Rusia juga diharapkan dapat membuat perubahan besar dalam kebijakan keuangan internasional di tengah kegalauan banyak negara yang berusaha melepaskan diri dari sistem keuangan dunia yang berporos pada kepentingan bangsa Anglo-AS (Frederick, 2004: 195). Bahkan pada perjanjian Mastrich bulan Februari 1992-dalam upaya untuk menciptakan mata uang tunggal pada tahun 1999-Bank Sentral Eropa yang merupakan peleburan dari bank-Bank Sentral negara-negara Eropa berupaya mengumpulkan 50 milyar Euro dalam bentuk emas dari seluruh negara-negara anggota sebagai cadangannya. Demikian pula halnya pada tanggal 1 Januari 1999. Dewan Pengawas Bank Sentral Eropa telah menetapkan bahwa 15% dari cadangan dasarnya yang mencapai 9,5 milyard Euro harus berbentuk emas (Salim, 2004). Keinginan sejumlah ekonom dan pejabat pemerintahan untuk kembali pada standar emas (gold standard) bukanlah tanpa alasan. Disamping dampak negatif yang telah diakibatkan oleh standar mata uang kertas (fiat money standard), motif tersebut juga dipicu oleh bukti historis kemampuan standar emas (gold standard) dalam menjaga stabilitas moneter selama lebih kurang 100 tahun hingga tahun 1914 ketika Perang Dunia I pecah. Pada masa tersebut standar emas telah mampu mewujudkan kestabilan moneter domostik maupun internasional serta mampu menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dalam kurun waktu yang cukup panjang (Kimball, 2005). Inflasi yang menjadi masalah serius bagi otoritas moneter di rezim fiat money standard–pada masa tersebut dapat berjalan secara stabil. Hal ini karena rezim tersebut memiliki rezim moneter yang berjalan secarar otomatis yang dapat mengatur pergerakan supply money di suatu negara serta diawasi secara disiplin oleh otoritas moneter masing-masing negara. Dengan demikian faktor utama yang menjadi pemicu inflasi pada uang subtitusi sepenuhnya dapat dikendalikan (Herbener, 2002). Hal ini juga diakui oleh diakui oleh Frederik Hayek (1976) sebagaimana yang dikutip oleh Block (1999): “Secara signifikan hal tersebut hanya terjadi pada kejayaaan sistem industri modern dan selama standar emas yang berlangsung sekitas dua ratus tahun…pada masa itu harga-harga diakhir rezim tersebut tidak mengalami perubahan. Ia sama sebagaimana awalnya.” (Hayek, 1976:16) “Kecuali selama dua ratus tahun ketika standar emas diterapkan. Selain itu pemerintah sepanjang sejarah telah mengunakan kekeuatan eksklusif mereka untuk menipu dan mencuri harta rakyat.” (Hayek, 1976: 15) Disamping itu dengan adanya nilai tukar yang tetap antara mata uang suatu negara negara dengan negara lainnya menjadikan arus perdagangan dan investasi tumbuh dengan pesat. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Grenspan (1966) yang juga dikutip oleh Block (1999) : Ketika standar emas diterima sebagai alat pertukaran oleh sebagian besar negara, standar emas internasional yang bebas tanpa batas telah membantu percepatan pembagian tenaga kerja (devision of labour) dan perluasan perdagangan internasional. Meskipun alat-alat tukar (seperti Dollar, Pound, Franch, dll) berbeda antara satu negara dengan negara lainnya dan seluruhnya detetapkan nilainya dengan emas, namun selama masa tersebut tidak ada hambatan bagi perdagangan ataupun pergerakan modal (movement of capital).” Meski demikian harus diakui bahwa kondisi demografis, ekonomi, politik dan budaya serta perkembangan teknologi masyarakat saat ini telah mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan masa tersebut. Namun setidaknya terdapat beberapa faktor fundamental yang dapat dikaji pada standar moneter tersebut dalam menciptakan stabilitas moneter dan keuangan dibandingkan dengan standar moneter lainnya termasuk standar mata uang kertas saat ini yang didominasi oleh Dollar.
Bagaimana menurut kelompok anda apabila mata uang US diganti dengan Standard Emas.
(Apa keuntungan dan Kerugiannya apabila Emas dibandingkan dengan Mata Uang kertas)


KASUS Organisasi Internasional

Genderang Perang AFTA-China

Januari 2010 merupakan waktu yang dinanti banyak pihak dengan perasaan harap-harap cemas, karena pada saat itulah gendering perang “laissez faire” akan menggema di Asia Tenggara. Negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, tengah bersiap-siap mengantisipasi beribu macam kemungkinan yang dapat terjadi menyusul implementasi penuh kesepakatan perdagangan bebas antar anggota ASEAN yang ternyata bertambah satu negara non-anggota, yaitu China. Berbagai reaksi ramai menghiasi headline media-media massa utama di tanah air, mulai dari yang paranoid terhadap serbuan komoditi asal China hingga yang mencerca pemerintah yang dinilai terlalu memaksakan diri bergabung dengan rezim perdagangan bebas tersebut. Tidak kalah berani, kelompok-kelompok tertentu bakan memvonis bahwa keputusan bergabung dalam AFTA-China sebagai sebuah kesalahan yang masih mungkin direvisi kembali. Terkait dengan dinamika tersebut, melalui artikel ini saya mencoba memberikan opini dan gambaran bagaimana kesiapan Indonesia dalam AFTA-China yang implementasinya sudah aktif sejak 1 Januari 2010 yang lalu.
Kemunculan AFTA-China
Sejak tahun 1980an, telah terjadi serangkaian perubahan fundamental di dunia, antara lain : (1) Munculnya lingkungan ekonomi dunia yang kompetitif, (2) Terjadinya revolusi teknologi informasi yang meningkatkan transaksi perdagangan di seluruh dunia, dan (3) Meningkatnya regionalisasi yang ditandai dengan munculnya pengaturan perdagangan dan investasi dalam lingkup regional di berbagai belahan dunia. Di saat yang sama negara-negara Asia mulai menerima prinsip-prinsip liberisasi yang disertai dengan meningkatnya tekanan strategi pembangunan yang berbasis daya tarik bagi investasi asing langsung serta munculnya kesadaran di kalangan para pemimpin ASEAN untuk memperkuat kerjasama ekonomi guna menghadapi tekanan-tekanan dari luar kawasan.Berbagai alasan tersebut mendorong para pemimpin negara Asia, khususnya negara anggota ASEAN, untuk mendirikan suatu organisasi ekonomi regional di Asia Tenggara
Pada Millennium Summit ke-4 ASEAN di Singapura tahun 1992, ASEAN yang saat itu beranggotakan enam negara (Brunei, Indonesia, Malaysia, Fillipina, Singapura, dan Thailand) sepakat membentuk kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA). Vietnam, Laos, dan Myanmar secara otomatis tergabung dalam keanggotaan AFTA bersamaan dengan masuknya mereka ke organisasi regional tersebut. ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.
China bergabung dengan AFTA melalui apa yang disebut Asean China Free Trade Agreement (ACFTA). AFTA-China 2010 menimbullkan banyak pertentangan dari berbagai kalangan. Menurut Anggota Komisi VI, komisi yang membidangi perdagangan dan industry, pihaknya sudah mengusulkan penundaan ini kepada pemerintah, karena faktanya, menurut Anggota Komisi VI DPR, Hendrawan Supratikno, Indonesia memang belum siap untuk bersaing dengan China, dan mengancam meningkatnya angka pengangguran dalam negri.
Pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) tidak kalah menentang. Ini dikarenakan UKM merupakan salah satu pihak yang paling dirugikan dengan adanya AFTA-China ini. Hal ini dikarenakan para pelaku UKM di Indonesia belum semuanya siap bertarung dalam kancah dunia pasar bebas ini. Kekhawatiran ini sangatlah beralasan. Dengan adanya pasar bebas dipastikan produk China akan membanjiri pasar di seluruh Indonesia, dan artinya produk-produk dalam negri khususnya produk UKM akan dipaksakan bersaing dengan produk-produk China yang terkenal dengan harga sangat murah dengan kualitas yang dapat diperhitungkan.
Walaupun banyak pihak yang melakukan penolakan terhadap AFTA-China tetapi masih banyak pula pihak yang tetap optimis dengan perdagangan bebas Asean dan China ini. Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heriawan, mengatakan bahwa Indonesia masih memiliki peluang untuk bersaing dengan China mengingan kinerja Indonesia dibandingkan dengan 10 negara Asean lainnya. Karena itu kemunculan AFTA-China menimbulkan dua pandangan yang berbeda. Di satu sisi hal ini bisa menjadi ancaman, akan tetapi di sisi lain ini bisa dijadikan sebagai sebuah tantangan untuk dunia usaha di Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan harga.
Ancaman Sekaligus Tantangan
AFTA-China ini bisa mencadi ancaman bagi para pengusaha, khususnya untuk para pelaku usaha dalam negri kecil dan menengah yang belum memiliki kwalitas dan kemampuan dalam hal memasarkan produk mereka. Karena pada AFTA-China produk-produk mereka harus bisa bersaing dengan produk China yang notabene mempunyai harga relative murah dan kualitas yang lumayan bisa dipertimbangkan. Sebaliknya, untuk para pelaku usaha yang memiliki produk, kualitas, dan manajemen yang baik, dengan adanya pasar bebas ini bisa dijadikan tantangan bagi pelaku dunia usaha. Merka bisa bersaing dengan produk-produk China sehingga pelaku usaha akan semakin menjadikan pasar bebas sebagai semangat dan modal memotivasi mereka untuk senantiasa meningkatkan kualitas dan harga produk mereka sehingga bisa terjangkau oleh konsumen.
Menurut saya pribadi, sebenarnya produk-produk Indonesia sudah cukup siap untuk bertanding dalam kancah pasar bebas Asia Tenggara-China dari segi keragaman, originalitas, dan kualitas produk. Hal ini bisa dilihat dari , salah satunya, terselenggaranya pameran kerajinan tangan dan perdagangan Inacraft ( International Handicraft Trade Fair) ke 12 yang diselenggarakan tanggal 21-25 April 2010 lalu. Sektor kerajinan tangan sendiri sudah berkontribusi sebesar 30% dari pertumbuhan ekonomi nasional. Jika zaman dahulu rempah-rempah menjadi komuditas ekspor terbesar, sejak beberapa tahun belakangan ini kerajinan tangan merupakan salah satu komuditas ekspor yang besar. Seiring dengan berkembangnya industry kreatif di Indonesia, maka pasar kerajinan tangan pun semakin besar. Di Inacraft 2010 terdapat kurang lebih 1600 stand yang menjual kerajinan tangan mulai dari perlengkapan rumah tangga, dekorasi taman, fashion, hingga mainan anak. Hal ini menunjukan bahwa semakin besar kesadaran masyarakan, khususnya pelaku dunia usaha, untuk senantiasa menyiapkan diri dalam dunia Global seperti tema yang diangkat panitia Inacraft tahun ini ‘From The Smart Village to The Global Market’. Apabila dilihat dari Inacraft 2010, rata-rata setiap daerah di Indonesia memiliki produk unggulan masing-masing. Butuh sedikit sokongan dari pemerintah, maka produk-produk ini akan Berjaya di kancah pasar bebas. Bila Singapur bisa mengandalkan teknologi sebagai produk unggulannya, maka kita dapat menjadikan industry kreatif dan kerajinan tangan sebagai unggulan. Persaingan AFTA-China ini tidak hanya menggugah pelaku bisnis, tetapi juga beberapa mahasiswa. Setidaknya ada tiga buah perusahaan yang didirikan oleh Mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM-ITB) yang ikut berpartisipasi dalam acara ini. Tiga perusahaan tersebut adalah: (1) Ace Company dengan produk tas kulit sapi yang dipadukan dengan kain songket Bali yang elegant, (2) Drivaza dengan Wall Sticker dan Book Shelf yang sangat urban, dan (3) Elf Company yang menawarkan sebuar teknologi baru, Alarm Pillow. Sebagai mahasiswa sekolah bisnis terbaik di Indonesia, mereka menyadari akan pentingnya mempersiapkan diri guna memasuki era globalisasi ini. Membuat perusahaan kecil merupakan wujud nyata mereka untuk meningkatkan ekonomi nasional. Dengan semakin banyaknya usaha kecil dan menengah yang muncul, maka akan semakin baik untuk perekonomian negara kita. Hal itu dapat meningkatkan Gross Domestic Product dan menurunkan angka pengangguran. Produk-produk yang mereka buat juga sudah pantas disejajarkan dengan produk hasil UKM atau perusahaan lainnya, yang mereka butuhkan adalah pengalaman yang lebih dan lagi-lagi dukungan dari pemerintah.
Namun dengan segala pencapaian yang ada, para pelaku bisnis tidak boleh luput sekalipun. Mereka justru harus selalu dan terus meningkatkan mutu dan kwalitas mereka sehingga masyarakat Indonesia tidak kecewa dengan produk yang mereka beli dari produk Indonesia akan tetapi justru semakin bangga membeli Produk Indonesia karena Produksi Indonsia memiliki kwalitas yang sangat bagus dan harga yang murah dan terjangkau.
Dan untuk wujudkan itu perlu diadakan kerjasama dan koordinasi dari banyak pihak dari pelaku usaha kecil dan menengah itu sendiri, Pemerintah dengan mengeluarkan bantuan dana khusus untuk pelaku Usaha Kecil dan menengah dengan bunga sekecil-kecilnya dan juga bimbingan secara terus menerus. Selanjutnya adalah peran masyarakat melalui Gerakan Cinta Produksi Indonesia adalah peran yang sangat baik dan bermanfaat sehingga jika ini terjalin dan berjalan dengan baik maka Indonesia akan berani berteriak “SELAMAT DATANG PASAR BEBAS”.

Pertanyaan:

1. Apakah taktik yang harus dipersiapkan oleh negara Indonesia? (Diskusikan dan jelaskan alasan jawaban anda)
- Apakah dampak positive dan Negative nya dengan masuknya China ke dalam AFTA








free counter
vpn espaƱa

No comments:

Post a Comment